Home » Singapura Protes! RI Tak Boleh Ulangi Sejarah Pahit Karhutla
Berita Indonesia Sumatera

Singapura Protes! RI Tak Boleh Ulangi Sejarah Pahit Karhutla

Jakarta, CNBC Indonesia – Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang saat ini terjadi berimbas kepada negara tetangga. Kualitas udara Singapura turun ke kisaran tidak sehat pada Sabtu (7/10/2023) akibat kabut asap sampai ke negara kota tersebut.

Pada Minggu (10/8/2023) jam 14:00 siang waktu setempat, pembacaan Indeks Standar Pencemaran 24 jam di bagian timur dan tengah Singapura berada di atas 100, tingkat di mana masyarakat disarankan untuk mengurangi aktivitas berat di luar ruangan dalam waktu lama.

Kabut asap lintas batas merupakan masalah abadi di Asia Tenggara karena adanya celah peraturan yang menyulitkan pihak berwenang untuk menghilangkan praktik pembukaan lahan dengan cara tebang dan bakar di Indonesia.

Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura mengatakan 212 titik panas terdeteksi di pulau Sumatra, Indonesia, pada hari Jumat, naik dari 65 pada hari Kamis dan 15 pada hari sebelumnya.

Pergeseran singkat arah angin pada Jumat sore meniupkan sebagian kabut tipis ke arah Singapura, sehingga memperburuk kualitas udara di negara kepulauan tersebut, katanya.

Metode pembukaan lahan tradisional digunakan hampir setiap tahun untuk membuka lahan di Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit dan pulp dan kertas yang menurut catatan publik dimiliki oleh perusahaan dalam dan luar negeri atau perusahaan yang terdaftar di luar negeri.

Indonesia memadamkan kebakaran hutan dengan air yang disemprotkan dari helikopter dan menyebabkan hujan melalui penyemaian awan, kata menteri lingkungan hidup pada hari Jumat, menyangkal bahwa kabut berbahaya melintasi perbatasan.

Awal minggu ini Malaysia mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan terhadap kebakaran di wilayah Indonesia karena kualitas udara di Malaysia mencapai tingkat yang tidak sehat.

Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan kepada wartawan pada Sabtu (7/10/2023) bahwa cuaca kering ekstrem menyebabkan kebakaran hutan di banyak daerah, namun situasinya jauh lebih baik dibandingkan tahun 2015 ketika 2,6 juta hektar (6424739 hektar) lahan terbakar, menurut perkiraan Bank Dunia.

Presiden juga sudah mendesak pihak berwenang dan pemerintah daerah untuk segera memadamkan api sebelum meluas.

Sebelumnya, media SingapuraThe Straits Timesmembuat peristiwa tersebut dalam artikel berjudul “Forest fires blanket several Indonesian provinces, causing surge in people falling ill”. Dalam tulisan tersebut Indonesia dikatakan setidaknya ada enam provinsi yang sudah mengalami kebakaran hutan dan lahan.

Beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan telah diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan yang semakin parah pada bulan Agustus, sehingga menyebabkan lonjakan jumlah penderita penyakit pernapasan seperti sakit tenggorokan dan sesak napas.

Pihak berwenang Indonesia mengerahkan patroli darat, pengeboman air, dan penyemaian awan untuk membendung kebakaran di hutan dengan lahan gambut yang luas, kata Dr Abdul Muhari, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kepada The Straits Times.

Enam provinsi yang rawan kebakaran hutan dan terkena dampak parah kabut asap adalah Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan di Sumatera, serta Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan di Kalimantan, Kalimantan bagian Indonesia.

“Ini yang menyebarkan kabut asap ke negara-negara tetangga termasuk Singapura dan Malaysia, sehingga mempengaruhi kualitas udara di provinsi-provinsi tersebut,” demikian isi artikel tersebut.

Masa ‘Kelam’ Karhutla Tak Boleh Terulang!

Pada tahun 2015 dan 2019, kebakaran serupa menghanguskan jutaan hektar lahan di Indonesia dan menyebabkan kabut asap menyebar ke beberapa negara Asia Tenggara, sehingga menghasilkan emisi yang mencapai rekor tertinggi, menurut para ilmuwan.

Kondisi kabut asap paling parah yang tercatat di Singapura terjadi pada bulan September 2015, ketika indeks 24 jam melampaui 300 hingga mencapai tingkat berbahaya, sehingga menyebabkan penutupan sekolah.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama periode Januari-Juli 2023 luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (ha). Dengan ini, seluruh kebakaran itu tercatat menghasilkan emisi lebih dari 5,9 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Benar yang dikatakan media asing tersebut, menurut Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), karhutla tahun ini berpotensi meningkat karena ada fenomena cuaca El Nino. Di Indonesia, secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan yang meningkatkan potensi bencana kebakaran lahan dan hutan.

Kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan di Indonesia sebagian besar adalah krisis buatan manusia, yang berdampak terhadap kesehatan yang utamanya terhadap Indonesia serta Asia Tenggara. Ditambah lagi peristiwa El Nino yang ditandai dengan kondisi kekeringan yang panjang terjadi di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan bisa semakin menggila.

Menurut Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), karhutla tahun ini berpotensi meningkat karena ada fenomena cuaca El Nino.

“Di Indonesia, secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan yang meningkatkan potensi bencana kebakaran lahan dan hutan,” kata BRGM di situs resminya (Mei 2023).

Potensi bencana kebakaran lahan dan hutan akan meningkat terutama di ekosistem lahan gambut, di mana kubah-kubah gambut akan mengering karena terjadinya musim kemarau.

Data ini tercatat dalamLaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV)yang dirilis KLHK menyebut, pada tahun 2019 emisi gas rumah kaca nasional paling banyak berasal dari sektor pemanfaatan hutan dan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) serta kebakaran gambut,yakni 924.853 Gg CO2e.

Berdasarkan data di atas, Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi targetNationally Determined Contribution(NDC), sebuah komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditetapkan melalui Perjanjian Paris.

Mengacu pada NDC, Indonesia ditargetkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di bawah skenariobusiness as usualpada 2030 dengan usaha sendiri, atau mengurangi emisi sampai 41% apabila mendapat dukungan internasional.

Kebijakan Kebakaran Hutan dan Lahan

Untuk mengantisipasi hal tersebut, BRGM menyatakan sudah bekerja sama dengan KLHK, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta TNI untuk melakukan pembasahan lahan gambut dengan teknologi modifikasi cuaca.

Polri juga terlibat dalam upaya antisipasi masalah ini, dengan melakukan sosialisasi larangan membakar lahan dan patroli di berbagai wilayah.

Bahkan sejak tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah diberikan mandat untuk melakukan restorasi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Lahan gambut di Indonesia terdegradasi dan mengering akibat terbakar hebat di 2015. Maka itu, upaya pemulihan gambut yang implementasinya berlangsung sejak 2017 diharapkan dapat mengembalikan kelembaban ekosistem gambut paling dini pada 2020 dan mencegah kebakaran selanjutnya.

Berdasarkan riset dengan tajuk “Predicting success in restored bogs shortly after restoration works” indikasi dampak dari restorasi gambut baru bisa dilihat dalam tiga tahun setelah restorasi.

Sebagaimana diketahui, setelah kebakaran hebat yang terjadi tahun 2015, kebijakan pemerintah di sektor kehutanan berfokus pada pemulihan gambut dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada tahun 2016.

Melangkah bersama dengan KLHK, badan ini punya wewenang melakukan restorasi sekitar dua juta herkate lahan gambut di tujuh provinsi dari Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sampai Papua.

Namun di 2019, kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi termasuk di beberapa wilayah yang sedang di restorasi.

Mengutip catatan dari https://sipalaga.brg.go.id/ lebih dari 90% titik pemantauan tinggi permukaan lahan gambut di tujuh provinsi prioritas restorasi mencatatkan kekeringan.

Bahkan masih lekat dalam ingatan, setelah mengadakan sidang rapat terbatas di Pekanbaru, Riau pada September 2019 presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa Indonesia lalai dalam mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan pada tahun tersebut.

Persoalan infrastruktur hingga kurangnya kerja sama antar semua pemegang kepentingan menjadi salah satu penyebab dari gagalnya atau belum efektifnya pemulihan ekosistem gambut.

Namun memang, secara tren kebakaran hutan dan lahan mengalami penurunan. Ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah agar tak lalai dalam mengatasi persoalan polusi udara. Meskipun penyebab berbeda, namun ini tetap menjadi perhatian karena polusi bisa mengancam nyawa manusia.

Mengutip dari berbagai sumber, saat itu baru saja sebulan terpapar kabut asap, hingga 11 September 2015, Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sudah 43.386 orang yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Angka itu hanya yang terdaftar memeriksakan diri ke rumah sakit dan puskesmas. Jumlah masyarakat yang terkena ISPA dari dampak kebakaran lahan di Riau meningkat hingga 100%. Sementara, pada tahun 2013, korban berjumlah 19.862 orang dan pada 2014 sejumlah 27.200 orang.

Sumber: CNBC

Translate